Pembangunan Rendah Karbon Perlu Masyarakat: Proyek Skala Besar Terhambat Fiskal

JAKARTA, KOMPAS – Untuk mencapai tujuan pembangunan rendah karbon sebagai strategi mengatasi perubahan iklim, pelibatan masyarakat mutlak diperlukan. Pembangunan skala besar oleh pemerintah cenderung membutuhkan waktu lama dan dana besar. Sementara itu, ruang fiskal dana tersebar di berbagai kementerian dan lembaga.

Hal itu terungkap dalam Sarasehan Nasional Perubahan Iklim gelar bincang bertajuk “Tantangan Pembangunan Rendah Emisi Karbon”, Jum’at (23/8) di Jakarta. Hadir sebagai pembicara adalah Maritje Hutapea dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Ifra Amir dari Kementerian Keuangan, dan anggota Komisi VII DPR Bobby Rizaldi. Gelar bincang itu merupakan bagian dari rangkaian acara peringatan lima tahun lahirnya Dewan Nasional Perubahan Iklim.

Indonesia mencanangkan penurunan emisi karbon dari kondisi tanpa aksi (bussines as usual) untuk menahan laju pemanasan global dan perubahan iklim pada tahun 2020 sebanyak 26 persen dengan kekuatan sendiri dan 41 persen dengan bantuan negara lain. Untuk mencapai target tersebut, dirancang penerapan pembangunan rendah karbon.

Di bidang energi, menurut Maritje, kebijakan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) tidak berjalan mulus. Hal tersebut antara lain akibat peraturan yang tidak sejalan. Misalnya, pengembangan energi panas bumi terhambat selain oleh regulasi sistem tarif yang tak menarik bagi investor, juga ada peraturan terkait kehutanan.

“Banyak sumber sumber panas bumi berada di kawasan hutan atau kawasan konservasi sehingga pengeboran tidak dibolehkan,” ujarnya.

Potensi sumber daya energi terbarukan ada dalam bentuk tenaga surya, angina, air, biomassa dan panas bumi. Adapun cadangan panas bumi yang terbesar sekitar 29.000 MW baru dimanfaatkan sekitar 1,9 MW. Meski memiliki sumber energi terbarukan demikian besar, akses terhadap energi dan daya beli Indonesia rendah dibandingkan dengan Jepang yang cadangan energinya jauh lebih rendah dari Indonesia.

Terhambat fiskal

Menurut Masnellyarti Hilman, mantan Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Limbah B3, dan Sampah, pemerintah selalu berpikir untuk membangun dalam skala besar.

“Masyarakat selama ini tidak dilibatkan. Di jepang, masyarakat mengembangkan sendiri EBT, kemudian 10 persen dijual ke negara. Kalau harus membangun pembangkit listrik dengan EBT dalam skala besar, banyak hambatan, antara lain di bidang fiskal,” kata Masnellyarti.

Sementara itu, menurut Bobby, kebijakan fiskal sekarang hanya menyediakan ruang sempit. Anggaran untuk Kementerian Lingkungan Hidup hanya sekitar Rp. 850 miliar. Hal itu sama besar dengan anggaran di Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian ESDM. Adapun anggaran untuk Dewan Nasional Perubahan Iklim hanya sekitar Rp. 35 miliar.

“Orientasi yang dikatakan rendah karbon ini tidak jelas karena tidak dalam prioritas tinggi. Anggaran tentang perubahan iklim tersebar di mana-mana,” katanya.

Sejalan dengan pemikiran tersebut, Bobby menekankan pentingnya partisipasi masyarakat. “Persoalannya bagaimana kesadaran ini bisa sampai ke masyarakat,” ujarnya.

Menurut Bobby, ekonomi hijau harus melibatkan para pimpinan eksekutif perusahaan, investor, dan orang-orang yang bergaji besar yang punya pengaruh besar. Dengan demikian, mereka bisa berpartisipasi.

Selain itu, peraturan yang bertabrakan antarlembaga pemerintah harus dihilangkan. “Sebab hal itu memunculkan celah yang bisa disalahgunakan,” ujarnya. [ISW]

Sumber: Kompas, Senin, 26 Agustus 2013, hal.13.

Komentar:

Memang benar apa yang dikeluhkan oleh Ibu Maritje Hutapea, bahwa banyak peraturan yang tidak sejalan sehingga pencapaian target penurunan emisi karbon dioksida sebesar 26 persen dari kondisi business as usual menjadi sulit terjangkau. Di satu sisi, target penurunan emisi dilakukan, tetapi di sisi lain target pemenuhan kebutuhan listrik, lewat dua tahap proyek percepatan kelistrikan 10.000 MW, justru menjatuhkan pilihannya pada penggunaan pembangkit listrik yang menggunakan batubara, yang memang lebih murah dan bahan bakarnya tersedia di tanah air. Perlu diketahui, PLTU jenis batubara ini dengan emisinya yang sebesar 950 kg karbon dioksida/ MWh merupakan polluter tertinggi di antara jenis pembangkit lainnya. Kalaupun pemerintah telah menyadari akan polusi karbon dioksida yang ditimbulkannya, mengapa tidak mewajibkan untuk juga menggunakan unit penangkap karbon pada PLTU tersebut? Lalu, mengapa batubara diekspor secara besar-besaran, sementara mayoritas pembangkit listrik tenaga uap di tanah air sangat membutuhkannya. Bukankah kebijakan ekspor tersebut justru akan melemahkan tingkat keamanan energi yang merupakan back bone pembangunan ekonomi nasional secara berkelanjutan? Mengapa kita tidak belajar dari Cina yang potensi batubaranya sangat besar, tetapi lebih memilih mengimpornya karena lebih murah?

Contoh kontradiktif lainnya adalah ketika terjadi pembakaran hutan di daerah Riau beberapa hari yang lalu. Staf Analisis BMKG Pekanbaru, Slamet Riadi, menyebutkan bahwa pada Senin malam (26/8) terdeteksi tidak kurang dari 297 titik api yang tersebar di Kabupaten Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, dan Pelalawan (Kompas, 28/8). Selama ini tidak ada sangsi tegas terhadap pelaku pembakaran, meskipun sudah jelas tujuannya, yaitu untuk mengkonversi hutan menjadi perkebunan maupun ladang. Pemerintah daerah perlu memperbanyak “jalan-jalan inspeksi” di hutan-hutan tersebut, sehingga dapat segera memadamkan apabila terjadi kebakaran.

Dari beberapa gambaran tentang kebijakan yang saling bertentangan tadi, terkesan bahwa masih banyak pejabat pemerintah maupun para pengambil keputusan, termasuk di bidang hukum, yang rendah tingkat pemahamannya akan masalah lingkungan dan pelestariannya. Ataukah mereka sebetulnya sudah menyadari, tetapi ada bisikan lain yang lebih menarik mereka?

 

Sumber

Pembangunan Rendah Karbon Perlu Masyarakat: Proyek Skala Besar Terhambat Fiskal