GNM Tegaskan Pertamina Itu Milik Rakyat Untuk Kelola Migas Negara

Jakarta(Care)-Dengan dalih adanya kemarahan publik akan korupsi dan amburadulnya pengelolaan minyak dan gas bumi (migas) selama ini, yang konon direspons oleh wakil rakyat. Kemudian Komisi VII DPR pun berinisiatif merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), untuk memenuhi adanya kemarahan publik. Salah satu hal penting yang akan direvisi oleh Komisi VII adalah, adanya pasal pergantian posisi PT Pertamina (Persero) dengan pembentukan perusahaan negara baru.

Menurut anggota Komisi VII DPR RI, Bobby Adityo Rizaldi dari Fraksi Partai Golkar  dalam diskusi bertema “Revisi UU Migas” di gedung DPR, Selasa (10/9), dikatakannya semua kegiatan eksplorasi, distribusi, penjualan, dan pembelian minyak dan gas pada tahun 2014 mendatang, akan langsung ditangani oleh lembaga baru tersebut. Dengan lembaga baru itu katanya pula, tata kelola migas tidak akan lagi bisa dipengaruhi oleh kepentingan politik, karena Presiden terpilih yang berkuasa penuh.

Keberadaan UU Migas sendiri sejak diberlakukan, sesungguhnya tak seperti undang-undang lain, UU Migas sudah dua kali di judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Di uji materi tahun 2004, tiga hal penting bertentangan dengan konstitusi dan harus dihapuskan.

Yaitu, kewenangan Menteri ESDM yang absolute, setor ke negara paling banyak 20 persen, dan harga jual BBM wajib memperhatikan kemampuan daya beli masyarakat. Di uji materi akhir 2012, adalah dibubarkannya Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) karena illegal. Dengan demikian, terhadap revisi UU Migas baik Pemerintah maupun DPR janganlah main-main, karena terkait erat dengan amanat Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945.

Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM) dari markasnya di jalan Raya Jatinegara Timur 61-65, Jakarta Timur, setelah menggelar rapat yang menghadirkan para aktivisnya untuk merespons pernyataan anggota Komisi VII DPR Bobby Adityo Rizaldi karena dianggap sangat penting, langsung menyampaikan keterangannya kepada pers (16/9/2013).

Pasalnya salah satu unsur aliansi GNM dari Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina (eSPeKaPe), sejak milad satu dasa warsa pada 10 Februari 2001 lalu. Sudah dengan tegas mendeklarasikan untuk “Kawal dan Pertahankan Pertamina Harga Mati”, sebagai konsensus dasar atau komitmennya para pensiunan Pertamina anggota eSPeKaPe yang tidak bisa lagi ditawar-tawar.

“Sebagai satuan dalam aliansi strategis GNM dan demi memenuhi konsensus dasar secara konsisten. Maka eSPeKaPe sangat perlu mengeluarkan pernyataan guna menepis politisasi dari orang-orang di Komisi VII DPR yang dalam menjalankan tugas dan fungsi legislasinya untuk menyelesaikan revisi UU Migas mulai terkesan agitasi.

Seperti dengan dalih adanya kemarahan publik, bisa jadi itu alasan mereka saja hanya untuk tujuan memenuhi kepentingan dirinya, kelompok, golongan dan partai politiknya, lalu menyebutnya tahun 2014 peran migas bukan lagi Pertamina” kata Ketua Umum eSPeKaPe Binsar Effendi Hutabarat yang menjadi Komandan GNM.

Padahal dalam pidato Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad saat memberi materi dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III PDI Perjuangan, di Ecovention Hotel Ecopark Ancol, Jakarta, pada hari Sabtu, 7 September 2013, tutur Binsar Effendi yang juga Wakil Ketua Umum FKB KAPPI Angkatan 1966 mengingatkan,

“Abraham Samad katakan bahwa pendapatan negara dari sektor migas sebesar Rp. 7.200 triliun setiap tahunnya, justru tergerus karena Pemerintah tidak tegas dalam regulasi dan kebijakan. Itu dalam perhitungan KPK yang disebutkan Abraham Samad. Tentu apa korelasinya dengan Pertamina? Lalu, ada apa dengan Pertamina?”.

Berikutnya menurut Binsar Effendi, soal tudingan publik adanya dugaan korupsi di tubuh Pertamina. Komandan GNM juga mengingatkan pernyataan Menteri BUMN Dahlan Iskan pada 19 Juni 2013. Dahlan Iskan bilang, tagihan Pertamina kepada Pemerintah di atas Rp. 25 triliun, sementara Pertamina harus keluar uang untuk impor minyak.

“Jika demikian persoalannya, dimana letak korupsinya Pertamina? Sementara baik lembaga KPK maupun BPK telah menilai Pertamina itu bersih dalam menjalankan good corporate governance (GCG). Bahkan sejak 26 Agustus 2010 saat penanda tanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara Pertamina dan KPK, Pertamina langsung membentuk Unit Pengendalian Gratifikasi” tegasnya seraya menuding balik jika anggota Komisi VII DPR terkesan memiliki grand design dibalik menjalankan revisi UU Migas.

Namun Binsar Effendi pun sangat mendukung jika ditemukan pejabat Pertamina terbukti melakukan kejahatan korupsi, sekaligus mendorong KPK agar bisa mengusut secara tuntas adanya dugaan korupsi ditubuh Pertamina tersebut.

Pada kesempatan yang sama, Koordinator Eksekutif GNM Muslim Arbi yang juga Koordinator Eksekutif Gerakan Perubahan (GarpU), unsur aliansi di GNM, menyatakan: “Jika revisi UU Migas hanya untuk membentuk lembaga baru dan menghapuskan peran Pertamina sebagai pengelola migas nasional milik negara, buat apa UU Migas itu direvisi jika hanya untuk membunuh peran Pertamina yang selama ini justru di dukung oleh rakyat, seperti tuntutan Aliansi Rakyat Kaltim untuk Blok Mahakam (ARKBM) agar Blok Mahakam diambil alih oleh negara dan dikelola Pertamina.

Ini ‘kan menjadi paradoks!” ujarnya geram sambil mengatakan, “Tidaklah semudah orang membalik telapak tangan untuk begitu saja membentuk lembaga baru dalam mengelola sektor migas yang high technolgy, high financial, high human resources, dan high risk itu”.

“Infrastrukturnya sebagai asset sudah harus dimiliki oleh lembaga baru itu, yang bukan saja untuk kegiatan eksplorasi, distribusi, penjualan, dan pembelian minyak dan gas pada tahun 2014 mendatang seperti yang Bobby Adityo Rizaldi utarakan” lanjut Muslim.

“Tapi lembaga baru itu sudah harus mempunyai rifenery, angkutan, depot, termasuk teknologi, modal, sumber daya manusia, dan lainnya. Inisiatif anggota Komisi VII DPR itu adalah inisiatif yang konyol dan sangatlah naif”, ungkapnya.

Sebab itu, imbuh Muslim Arbi, GNM akan melayangkan surat resmi untuk meminta audiensi atau rapat dengar pendapat umum (RDPU) kepada Pimpinan Komisi VII DPR dengan judul “Nota Keberatan”. Sebab menurut Komandan GNM Binsar Effendi, opini pengelola migas bukan Pertamina lagi, harus dihentikan.

Karena sejatinya Pertamina itu milik rakyat Indonesia dan yang secara khusus Pertamina yang dilahirkan pada 10 Desember 1957 itu hanya untuk menjadi perusahaan negara dalam mengelola usaha sektor migas, yang cabang-cabang produksinya itu penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang dikuasai oleh negara, dan hasil-hasilnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sebagaimana dimanatkan oleh Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945.

“Jadi, bukan apalah arti sebuah nama jika revisi UU Migas kemudian menggantikan Pertamina dengan lembaga lain. Bukan itu. Pertamina itu punya sejarah panjang, yang mainstreamnya juga dari upaya nasionalisasi yang dicanangkan oleh Bung Karno.

Di Arab Saudi sendiri, Raja Faisal di tahun 1974 menasionalisasi perusahaan minyak Amerika Serikat Aramco dan berhasil mengubah negara Arab Saudi yang di tahun 1970-an miskin, menjadi negara yang sangat makmur sekarang ini. Bukan sesuka hatinya anggota dewan untuk mengganti begitu saja nama Pertamina”.

Maka sangatlah ironis apabila Pertamina dihapuskan dari peran pengelola migas dalam revisi UU Migas. Padahal di negara-negara Amerika Latin, tutur Binsar Effendi, seperti Bolivia dibawah Presiden Evo Morales, Ekuador dibawah Presiden Rafael Correa, Venezuela dibawah Presiden Hugo Chavez, dan Argentina dibawah Presiden Cristina Fernández de Kirchner, justru membesarkan perusahaan migas nasionalnya sendiri.

“Di Bolivia, perusahaan Yaciementos Petroliferos Fiscales Bolivianos (YPFB). Di Ekuador, perusahaan Petroecuador. Di Venezuela, perusahaan Petróleos de Venezuela S.A. (PDVSA). Di Argentina, perusahaan Yacimientos Petrolíferos Fiscales (YPF).

Semua perusahaan-perusahaan migas nasional itu, dengan satu tujuan untuk mengamankan hasil migas negaranya masing-masing agar dapat berkontribusi. Tidak satu pun diantara mereka yang mengganti peran pengelola migas dari perusahan-perusahaan tersebut” lanjutnya.

Sementara dalam revisi UU Migas, kata Binsar Effendi lagi, pihak DPR punya opsi mau mengesampingkan peran Pertamina sebagai inisiatifnya. “Ini menjadi inisiatif yang justru akan membenamkan tata kelola migas semakin bisa bertambah kacau dan buruk, karena tidak bisa dihindari lagi dari pengaruh kepentingan politik.

Dimana Presiden terpilih yang berkuasa penuh itu, kendati sejatinya dipilih oleh rakyat secara langsung tapi diusung oleh partai politiknya. Jadi, tetap saja Presiden terpilih akan berkuasa untuk kepentingan partainya. Siapa yang mau menjamin jika lembaga baru itu akan lebih baik dari Pertamina? Konyol bukan?”, pungkasnya menyudahi keterangannya kepada pers.

 

Sumber

http://cahayareformasi.com/berita/2013/gnm-tegaskan-pertamina-itu-milik-rakyat-untuk-kelola-migas-negara/