KELANGKAAN GAS: Dari Komitmen Ekspor hingga Buruk Infrastruktur

Keluhan Fredi Chandra soal  gas bisa jadi salah satu tanda rentetan panjang masalah  gas di Tanah Air. Fredi adalah pengusaha keramik asal Medan, Sumatra Utara. Dia kesulitan untuk mendapatkan pasokan energi tersebut untuk kepastian usahanya. Yang Fredi lakukan selama ini hanyalah menunggu.

Untuk bisnisnya, pengusaha itu memerlukan gas sebesar 4 MMscfd, namun hanya memperoleh 0.9 MMscfd. “Sekarang saya tidak bisa berbuat apa-apa, hanya menunggu pemerintah mencarikan gas untuk kami,” katanya dalam suatu kesempatan. “Sisanya saya menggunakan bahan bakar batubara.”

Keluhan Fredi juga dialami puluhan pelaku industri lainnya di kota tersebut. Dikhawatirkan, jika pemerintah tak mengambil tindakan nyata soal gas maka akan banyak perusahaan keramik yang bangkrut. Padahal, produksi gas sendiri  di antaranya adalah untuk kebutuhan ekspor. Alasannya, penyerapan dalam negeri tidak dilakukan secara baik.

Mungkin masalah pasokan gas pula yang menyebabkan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sumatra Utara memiliki opsi untuk memilih membeli pasokan gas yang sedianya untuk ekspor ke Singapura. Hal tersebut, dilakukan sebagai langkah terakhir bila pasokan gas dari PT Gas Negara (Persero) Tbk tak lagi mencukupi.

“Kalau tidak memungkinkan dan gas di Sumut semakin menipis serta membahayakan, kami akan membeli gas yang sudah dijual ke Singapura,” kata Tohar Soehartono, Wakil Ketua Kadin Sumatra Utara, beberapa waktu lalu. “Yang pasti kami akan negosiasi untuk membeli gas dengan harga yang tepat.”

Presiden Direktur PT Pertamina EP Syamsu Alam menyatakan solusi yang paling baik untuk pasokan gas adalah menemukan sumur baru. Salah satunya adalah karena produksi dari lapangan Glagah-Kambuna sudah kritis, sementara itu Sumur Benggala masih dieksplorasi. Masalahnya, Syamsu tak bisa memastikan kapan sumur itu mulai beroperasi.

Peneliti sektor ekstraktif dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Firdaus Ilyas mengatakan masalah kelangkaan gas juga merupakan masalah keinginan politik pemerintah saat ini.

Dia menuturkan kebutuhan domestik akan gas hingga kini tidak dapat dijamin oleh pemerintah secara baik. Namun di sisi lain, kata Firdaus, eksportasi gas ke sejumlah negara terus dilakukan dengan alasan harga di dalam negeri tidak kompetitif.

“Pemerintah tak memberikan jaminan untuk memenuhi kebutuhan gas,” katanya. “Ini juga terkait dengan inkonsistensi akan regulasi. Di samping itu investasi di sektor ini tak diprioritaskan.”

Belum selesai dengan satu usulan, ide lainnya juga muncul. Kali ini datang dari  kalangan pemerintah. Panggah Susanto, Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, menuturkan pembangunan infarstruktur pipa gas tambahan dengan menggunakan mekanisme akses terbuka (open access) mendesak direalisasikan agar dapat mendukung pertumbuhan industri di dalam negeri.

Dia memaparkan dengan mekanisme tersebut, diharapkan jaringan pipa gas menjadi penghubung antara produsen dan konsumen untuk mendukung pasokan gas untuk sektor industri dan mengurangi monopoli distribusi gas yang berdampak pada tingginya harga.

Namun kritik tetap datang terhadap usulan tersebut.

Salah satunya menyatakan, penerapan jaringan pipa akses terbuka dapat efektif bila infrastruktur gas sudah matang. Ini lagi-lagi soal pembenahan infrastruktur. Anggota Komisi VII DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi mengingatkan agar implementasi jaringan pipa open access jangan sampai hanya memperbanyak pemain, namun juga harus memperbanyak infrastruktur gas.

Syarat lainnya adalah menyangkut pemain yang siap berkompetisi dan transparansi informasi. “Tidak benar  hanya untuk memperbanyak pemain saja, bisa banyak pipa yang bertumpuk,” kata Bobby di Jakarta. “Open access itu baru bisa efektif kalau sudah matang dalam sisi infrastruktur gas.”

Selain perbaikan infrastruktur, importasi gas adalah salah satu upaya untuk mengatasi masalah gas dalam negeri. Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini menyatakan importasi gas adalah salah satu cara untuk mengatasi kelangkaan gas domestik.

Floating Storage and Regasification Unit (FSRU)—satu tempat penyimpanan sementara untuk dipasok langsung ke konsumen—kelak dipakai untuk menyimpan gas baik itu berasal dari produksi dalam negeri maupun hasil importasi.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya mencatat alokasi ekspor sektor gas dan LNG mencapai 4.648 MMscfd pada 2011. Angka ini justru lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan gas dalam negeri yang mencapai 2.156 MMscfd di tahun yang sama.

“Mau itu FSRU Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, atau Banten, itu sama. Semua akan impor gas,” kata Rudi dalam keterangannya.

4 MASALAH

Direktur Eksekutif Indonesian Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan distribusi gas dalam negeri juga terkait dengan kekuatan-kekuatan bisnis yang dekat dengan lingkaran kekuasaan. Oleh karena itu, pemerintah diminta konsisten dengan aturan yang terkait dengan pengelolaan gas.

Selain itu, pemerintah harus mendahulukan kepentingan dalam negeri dengan mempercepat pembangunan infrastruktur di sektor gas. Marwan memaparkan sedikitnya terdapat empat masalah dalam pasokan gas, yakni ekspor yang terus meningkat, konsumsi gas dalam negeri yang juga tumbuh, keterbatasan produksi, dan masalah infrastruktur.

“Pemerintah segera membenahi infrastruktur sehingga jaminan gas di dalam negeri dapat terpenuhi,” kata Marwan. “Tentunya importasi gas itu jelek untuk kedaulatan energi, sehingga produksi gas harus diprioritaskan.”

Masalahnya pasokan dalam negeri tak dapat ditunggu dengan cepat. Perusahaan macam PT Nusantara Regas pun berencana melakukan impor gas. Presiden Direktur Nusantara Regas Hendra Jaya meminta kepada pemerintah agar  pihaknya  mendapatkan tambahan pasokan gas untuk dipasok ke industri, di antaranya yang diprioritaskan untuk  PLN.

Nusantara Regas merupakan perusahaan patungan yang sahamnya dimiliki PT Pertamina (Persero) 60 % dan PT PGN Tbk 40 %.

Di sisi lain, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) pun mempertimbangkan membuka lelang pasokan gas LNG jangka panjang untuk menutup kebutuhan FSRU Jawa Barat pada 2014.

Perseroan terpaksa mengimpor LNG jika domestik memang tidak bisa lagi memasok kebutuhan PLN. Pasalnya, gas alam cair ini sekarang menjadi andalan PLN sebagai bahan bakar yang digunakan untuk menutup kenaikan kebutuhan setrum saat beban puncak.

“Ini kalau memang tak ada pilihan lain,” kata Suryadi Mardjoeki, Kepala Divisi Gas dan BBM PLN.

Sumber