Kenapa Elpiji 3 Kg Langka di Sejumlah Daerah

VIVAnews – Kelangkaan elpiji 3 kilogram di Kabupaten Cianjur sejak April lalu membuat Bupati Cianjur, Jawa Barat, geram. “Saya sudah membuat surat ke Pertamina dan Kementerian Energi. Kelangkaan ini sudah meresahkan masyarakat,” kata Bupati Cianjur Cecep Muhtar Soleh kepada VIVAnews, Minggu 3 Juni 2012.

Dan kelangkaan bukan hanya terjadi di Cianjur, tapi juga di sejumlah daerah lainnya.

Pasalnya akibat kelangkaan ini harga eceran bahan bakar bersubsidi di tingkat pengecer melambung hingga Rp20.000 per tabung. Harga gas yang dipaket dalam tabung hijau muda mirip warna buah melon itu jauh dari harga eceran tertinggi yang dipatok pemda setempat, Rp13.200.

Mendapat banyaknya keluhan dari masyarakat, Komisi II DPRD Kabupaten Cianjur melakukan penyelidikan ke berbagai agen, distributor, dan pengecer. “Dari hasil pemantauan dan sidak ke berbagai tempat, dari agen hingga pengecer gas, elpiji 3 kg memang kosong,” kata Ketua Komisi II DPRD Cianjur Susilawati kepada VIVAnews.

Tim Komisi II DPRD Cianjur menemukan kejanggalan, sebab yang hilang dari pasaran hanya elpiji 3 kg saja, sedangkan tabung 12 dan 50 kg masih normal. “Sepertinya ada masalah besar soalnya gas elpiji 3 kg masih disubsidi, sedangkan yang lain tidak,” ujar Susi.

Mengenai harga yang menjulang, Wakil Presiden Komunikasi Korporat PT Pertamina Mochamad Harun mengatakan hingga saat ini pemerintah melalui Pertamina belum menaikkan harga jual elpiji 3 kg. Pertamina masih mematok Rp4.250 per kg atau Rp12.750 per tabung.

Hanya saja, saat ini ongkos angkut dari SPBE ke konsumen ditetapkan oleh Pemda dengan menetapkan harga eceran tertinggi di daerah masing masing. “Inilah yang mengakibatkan adanya tambahan harga karena pembebanan ongkos angkut,” katanya, melalui surat elektronik.

Para pengusaha gas yang tergabung dalam Himpunan Wiraswasta Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) pun angkat bicara. Ketua Bidang Distribusi dan Pengawasan Elpiji Hiswana Migas Kabupaten Cianjur Susilo Budi mengatakan, kelangkaan elpiji di berbagai daerah ini terjadi karena pengurangan kuota yang dilakukan Pertamina sejak April. “Pengurangannya sangat terasa,” kata dia kepada VIVAnews.

Dia mencontohkan, kuota elpiji untuk Kabupaten Cianjur adalah 1,1 juta tabung ukuran 3 kg per bulan. Sejak April, jumlah ini turun hanya menjadi 900 ribu tabung. Penurunan kuota yang terlalu besar ini, hingga lebih dari 10 persen, berdampak langsung pada masyarakat. “Akibatnya elpiji subsidi menjadi langka dan harga melambung tak terkendali,” katanya.

Akar masalah

Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) menilai kelangkaan elpiji ukuran 3 kilogram di sejumlah daerah terjadi karena adanya disparitas harga antara elpiji 3 kg dengan 12 kg yang memancing tindakan pengoplosan.

Direktur Puskepi Sofyano Zakaria mengatakan kelangkaan juga terjadi karena perbedaan harga yang disebabkan penetapan Harga Eceran Tertinggi pangkalan oleh Pemda berdasarkan kewenangan yang diberikan dari Peraturan Bersama Mendagri dan Menteri ESDM. “Ini sangat berpotensi menyebabkan migrasi elpiji dari suatu daerah ke daerah lain,” kata Sofyano kepada VIVAnews.

Sofyano mengatakan, penjualan elpiji ke konsumen non-rumah tangga dan non-usaha mikro perorangan, juga menjadi ancaman terbesar atas alokasi elpiji bersubsidi ini.

“Padahal dalam Perpres Nomor 104/ 2007 dan Permen ESDM Nomor 021/2007 elpiji 3 kg hanya boleh digunakan oleh rumah tangga dan usaha mikro perorangan,” katanya.

Sofyano menambahkan, sebagai bahan bakar yang disubsidi pemerintah, seharusnya penjualan elpiji tabung 3 kg tidak boleh dilakukan seperti jual beli produk non-subsidi. “Menjual elpiji 3 kg dalam jumlah banyak tidak bisa dibuktikan peruntukannya,” ujar Sofyano.

Karena itu, pengamat energi ini mengatakan, jika ada pembelian elpiji dalam jumlah tidak wajar, misalnya ibu rumah tangga membeli dua atau tiga tabung, mestinya tidak boleh dilayani.

Dia juga menyayangkan isi Perpres 104/2007 yang tidak menetapkan sanksi dalam pelanggaran jual beli elpiji subsidi. Menurut dia, sepanjang tidak ada sanksi, akan sulit mengambil tindakan hukum terhadap pelaku pelanggaran.

Hingga saat ini pemerintah hanya memberi sanksi bagi pelaku penimbunan yang diatur dalam UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.  Karena itu, jika ada pihak yang diketahui melakukan bisnis elpiji 3 kg, tapi mereka bukan bukan agen, pangkalan, atau pengecer, maka pihak yang berwajib seharusnya bisa segera mengambil langkah sesuai ketentuan perundang-undangan.

Ia juga menghimbau agar pemerintah daerah turut aktif memainkan perannya dengan melakukan pengawasan melekat pada pendistribusian barang bersubsidi ini. Pemda bisa lebih aktif dengan menetapkan keberadaan pangkalan dan pengecer elpiji.

Anggota Komisi Energi DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi menyayangkan kelangkaan elpiji di tengah konsumsi yang membengkak. Dia meminta pemerintah melalui Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas, Pertamina, dan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas berkoordinasi dalam mengawasi penyaluran dan distribusi elpiji 3 kg. Pengawasan ini diperlukan agar tidak terjadi penyimpangan seperti distribusi yang bocor. “Elpiji bersubsidi hanya boleh digunakan rumah tangga dan usaha mikro perorangan,” katanya kepada VIVAnews.

Politisi Partai Golkar ini juga meminta pemerintah mengidentifikasi masalah sehingga bisa menentukan solusinya. “Disparitas harga juga menjadi salah satu faktor kelangkaan dengan pengoplosan,” ujarnya. [VivaNews]