Kebijakan Jangan Bingungkan Warga

JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah harus merumuskan mekanisme yang jelas dalam pemberlakuan kebijakan penggunaan dan penghematan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang akan dimulai pada 1 Juni 2012.

Anggota Komisi VII DPR Bobby Adhityo Rizaldi menegaskan, kebijakan yang akan disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya pada 23 Mei 2012 jangan sampai membingungkan masyarakat, sehingga menimbulkan gangguan dalam pembelian BBM di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).

“Kami di DPR mendukung rencana pemerintah tersebut, namun harus ada mekanisme yang jelas dalam implementasinya. Penghematan BBM seperti apa yang diberlakukan dan jangan sampai menimbulkan masalah baru,” kata Bobby kepada Suara Karya di Jakarta, Kamis (10/5).

Bobby mengatakan, penghematan BBM memang harus diberlakukan pemerintah agar beban subsidi dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tidak terus membengkak. “Termasuk pencanangan program sehari tanpa BBM, harus diatur pelaksanaannya secara terukur sehingga tidak menimbulkan kontroversi baru. Targetnya harus jelas, agar tidak menambah panjang deretan kebijakan energi tanpa realisasi yang nyata,” ujarnya.

Ia menambahkan, program pengalihan penggunaan BBM ke bahan bakar gas atau energi alternatif lainnya seharusnya sudah bisa dijalankan secara maksimal. Apalagi, menurut dia, ketersediaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia sangat memungkinkan untuk dilaksanakan dalam skala lebih besar.

Namun dia mengingatkan, rencana konversi BBM ke energi alternatif harus diimbangi dengan ketersediaan infrastruktur yang memadai dan merata sehingga masyarakat mudah untuk mendapatkan atau membeli energi yang lebih murah itu.

“Sebenarnya, banyak cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk melakukan penghematan penggunaan BBM. Namun, harus ada upaya konkret dan keberanian untuk dapat mengimplementasikan kebijakan penghematan tersebut, sehingga kebijakan yang dikeluarkan bukan hanya berlaku di atas kertas, melainkan bisa diimplementasikan dengan baik,” tutur anggota Fraksi Partai Golkar itu.

Sementara itu, terkait penggunaan mobil hibrida, pengamat otomotif Suhari Sargo mengatakan, pemasaran mobil hibrida di Indonesia memerlukan waktu lama, yakni sekitar 10 tahun, karena infrastruktur yang tidak memadai.

Menurut Suhari, pasar mobil hibrida di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) sebenarnya masih sangat kecil. Padahal, dukungan infrastruktur di negara maju memadai. “Dari 15 juta unit pasar mobil di (AS), hanya 10 persen pasar mobil hibrida. Artinya, masih sedikit peminat mobil tersebut dan butuh infrastruktur yang memadai untuk menggunakannya,” ucapnya.

Senada dengan Bobby, dia mengatakan, pemerintah harus membenahi infrastruktur lebih dulu agar konsumen lebih tertarik membeli mobil hibrida. “Yang harus dipikirkan adalah masalah pengisian listriknya. Nanti konsumen akan mengeluarkan biaya ekstra kalau tidak ada sarana dan prasarana yang mendukung,” kata dia.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa menyatakan pemerintah ada kemungkinan memberikan insentif fiskal berupa keringanan pajak untuk mendorong produksi mobil hibrida di Indonesia. “Pemerintah akan mendorong agar produksi itu di Indonesia dan kita akan berikan insentif tax duty maupun luxury tax,” ujarnya.

Namun, Hatta belum mau menyebutkan kapan pemerintah memberikan keringanan pajak untuk produksi mobil hibrida secara massal. “Kita akan melakukan itu secepatnya,” ujarnya.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik mengatakan, penggunaan mobil hibrida yang memakai tenaga listrik dan BBM akan mempercepat program penghematan yang dilakukan pemerintah karena bahan bakar yang terpakai tidak terlalu boros.

“Presiden sudah memperhatikan hybrid car menggunakan listrik, menarik untuk menghemat. Kalau sekian ratus ribu mobil kena macet, itu berapa BBM yang terbuang. Kalau memakai hybrid car, selama macet sedikit menggunakan BBM,” ujarnya. (SuaraKarya)