Sikap Pemerintah Tak Jelas,Negara Tekor Rp 180 Miliar Per Hari
RMOL.Komisi energi DPR meminta pemerintah segera memutuskan kebijakan pengendalian Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi, apakah akan menggunakan pembatasan premium atau menaikkan harga. Presiden SBY masih mengkaji keputusan soal ini. Sekretaris Kabinet (Seskab) Dipo Alam mengatakan, draft Peraturan Presiden (Perpres) pengaturan BBM subsidi memang sudah sampai kepadanya. Tapi, hingga kini, Perpres tersebut belum diteken oleh Presiden karena perlu memastikan kesiapan di lapangan. Dia menjelaskan, Perpres Nomor 55 Tahun 2005 itu mengatur tentang harga jual eceran BBM bersubsidi serta Perpres Nomor 9 Tahun 2006 tentang pembatasan penggunaan BBM subsidi. “Kan ada dinamika-dinamikanya juga. Jadi tidak mungkin satunya dimasukkin dan mereka kemudian mengatakan belum siap. Tentunya kita menunggu saja dulu,” cetus bekas aktivis mahasiswa ini. Menurut Dipo, Setkab dan Istana Kepresidenan bukan hanya tukang stempel regulasi sehingga semua yang akan ditandatangani Kepala Negara atau distempel Istana harus dipastikan siap dan sempurna. Menurut dia, menteri terkait seperti Menko Perekonomian dan Menteri ESDM akan terus memberikan laporan perkembangan dari dinamika yang berkembang di lapangan. Anggota Komisi VII DPR Bobby Rizaldy memperkirakan, negara akan tekor Rp 180 miliar per hari akibat tidak adanya kepastian soal kebijakan BBM subsidi. Apalagi, harga minyak dunia juga terus meningkat. “Kalau mau dibatasi (BBM subsidi), segera batasi. Kalau mau dinaikkan segera bahas di APBN Perubahan,” cetus Bobby kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin. Semakin lama tidak ada keputusan, kata Bobby, kerugian APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) akan semakin besar. Dalam APBN 2012, harga Indonesia Crude Price (ICP) mencapai 90 dolar AS per barel. Sedangkan saat ini harga ICP sudah di atas 100 dolar AS per barel. “Jadi kalau dihitung setiap hari APBN kita tekor Rp 180 miliar. Karena setiap kenaikan 10 dolar per barel akan berdampak pada kenaikan beban subsidi Rp 90 miliar per hari. Dan harga minyak diprediksi akan bergerak ke angka 110 dolar AS per barel,” papar Bobby. Ia mengatakan, meskipun di satu sisi kenaikan ICP menambah penerimaan negara, tapi di sisi lain kenaikan itu membuat biaya subsidi naik. Apalagi pemerintah dalam APBN menetapkan kuota BBM subsidi tahun ini sebesar 40 juta kiloliter (KL) dengan anggaran Rp 123 triliun. “Dengan kenaikan ICP, kuota volume tersebut (40 juta KL) tidak bisa dipenuhi dengan anggaran sebesar Rp 123 triliun itu, sehingga harus ditambah anggarannya,” kata Bobby. Menurutnya, kerugian tersebut akan terus membengkak jika pemerintah hanya diam saja dan tidak merespons konflik Timur Tengah. Apalagi, koordinasi antara Menteri ESDM dan Menteri Keuangan soal subsidi saja tidak maksimal dan memprihatinkan. “Pemerintah takut pencitraannya tidak popular dan selalu melimpahkan pada DPR untuk memutuskan hal-hal yang sebenarnya sudah disepakati,” kritik Bobby. Saat dikonfirmasi soal dampak kenaikan harga minyak, Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rofyanto Kurniawan mengatakan, setiap kenaikan harga minyak tentu berdampak pada membengkaknya defisit anggaran. “Setiap kenaikan harga minyak satu dolar AS per barel akan berdampak pada bertambahnya defisit Rp 0,8 triliun,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin. Dalam satu kesempatan, Rofy juga mengatakan, kenaikan BBM Rp 1.000 per liter dapat menghemat anggaran negara sebesar Rp 21 triliun. Menurutnya, jika pemerintah bisa menekan konsumsi BBM sesuai kuota 40 juta KL. maka anggaran yang dapat dihemat Rp 7,8 triliun hingga Rp 8 triliun. Sedangkan apabila pemerintah bisa menghemat konsumsi hingga 37,5 juta KL, maka anggaran yang dapat dihemat sebesar Rp 16 triliun. [Harian Rakyat Merdeka]