Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) masih banyak ditentang kalangan masyarakat. Selain berisiko tinggi dan berbiaya mahal, pembangunan itu juga rawan dikorupsi.
Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Widjajono Partowidagdo mengatakan, pembangunan PLTN sulit diterapkan di Indonesia. Sebab, potensi korupsinya masih tinggi.
Menurut dia, korupsi di Indonesia bakal menjadi masalah dalam pengembangan energi nuklir ini. “Kesiapan kita bagaimana. Kalau dikorupsi, itu nggak aman. Jadi bukan soal ancaman radiasi,” ujarnya.
Ia mengakui, saat ini banyak negara yang memilih listrik dengan nuklir karena harganya lebih murah daripada menggunakan BBM (Bahan Bakar Minyak). “Jika menggunakan BBM biaya listrik 36 sen, sedangkan nuklir hanya 12 sen,” jelasnya.
Namun, untuk di Indonesia bisa digunakan batubara. Biaya batubara, menurut Widjajono, jauh lebih murah meski banyak orang mengeluhkan soal emisinya. Sebaiknya Indonesia melakukannya bertahap. Mulai dari batubara, kemudian panas bumi setelah itu baru PLTN.
Menanggapi soal energi nuklir, Dewan Energi Nasional (DEN) juga menolak pembangunan PLTN di Indonesia.
“Nuklir secara teknologi harus kita kuasai, tapi jika untuk energi tidak ada lagi diskusi karena tidak rasional dan berbahaya,” ujar anggota DEN Rinaldy Dalimi kepada Rakyat Merdeka.
Menurut ahli kelistrikan UI (Universitas Indonesia) ini, kejadian di Fukusima, Jepang, memberikan pelajaran keberadaan PLTN sangat berbahaya. Apalagi, Indonesia merupakan negara yang rawan gempa.
Dia menganggap, kejadian Fukusima membuat pengembangan energi nuklir semakin mahal karena teknologi dan pengamanan pembangkitnya harus lebih sempurna lagi.
“Investasi mahal, lebih mahal dari fosil. Padahal kita cari yang termurah,” ungkapnya.
Selain itu, Rinaldy menilai, Indonesia belum sanggup menangani kecelakaan seperti yang terjadi di Fukusima. Apalagi, perusahaan asuransi tidak ada yang mau menangggung karena biaya dan tingkat risikonya tinggi.
Dia berpendapat, PLTN cocok untuk negara-negara yang memiliki sumber daya alam yang minim. Tapi, banyak negara yang sumber dayanya minim sudah memutuskan untuk tidak mengembangkan energi tersebut.
Yang harus dilakukan Indonesia saat ini mengembangkan energi batubara dan gas karena murah. “Keduanya cukup untuk masa transisi, sehingga pada 2020 energi terbarukan bisa lebih ekonomis,” katanya.
Selain belum siap, faktor penghambat lainnya untuk membangun energi nuklir yakni akan ada penolakan dari negara-nagara lain. “Contohnya Iran, sampai saat ini masih menjadi sorotan karena ditentang negara-negara lain,” jelasnya.
Anggota Komisi VII DPR Bobby Rizaldy mengatakan, perkembangan pembangunan PLTN di Indonesia sudah masuk tahap penentuan. Memang ada regulasi yang menyatakan nuklir masuk dalam skema pembangunan Indonesia.
Nuklir juga merupakan salah satu komponen penurunan emisi sesuai target pemerintah yaitu 26 persen di 2020.
Bobby mengatakan, baru-baru ini Pemerintah Indonesia juga berniat menjadi pemimpin dalam ratifikasi Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty. Ratifikasi ini menyangkut komitmen menggunakan nuklir sebagai sumber energi bukan sebagai senjata.
Menurutnya, program PLTN di Indonesia tercantum dalam Peraturan Perundangan yang berlaku yakni Perpres No.5 Tahun 2006 tentang KEN (Komite Energi Nasional) dan UU No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP).
Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Said Didu menganggap pemerintah terlalu ketakutan mengembangan PLTN.
Menurut Said, 32 persen negara di dunia sudah menggunakan nuklir. Amerika saja sudah memakai 20 persen tenaga nuklir, sedangkan Prancis 75 persen.
“Teknologi nuklir sudah maju, gempa di Jepang saja tidak merusaknya. Yang membuat rusak adalah tsunaminya. Karena itu, kalau mau bikin PLTN cari di dataran tinggi,” kata Said kepada Rakyat Merdeka, kemarin. [Harian Rakyat Merdeka]