Komisi I DPR Kaji Aturan TNI Terlibat Dalam Pemberantasan Terorisme dan Narkoba

Jakarta, HanTer ‎- Komisi I DPR RI menyatakan rencana pihaknya mengatur peran dan keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme dan narkoba masih perlu dikaji dan di evaluasi aturan peran TNI dalam mempertahankan keamanan negara dan bangsa.

“Kalau‎ memang teroris mengganggu terhadap keamanan negara dan bisa merusak NKRI, apakah hal tersebut cukup diberikan pada Polri dalam penyelesaiannya?,” kata Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), Syaiful Bahri Anshori saat dihubungi, Jumat (11/3/2016).

Menurutnya, rencana tersebut sudah sangat jelas bahwa peran TNI‎ pasca reformasi harus di perjelas apa yang di maksud dengan kembali ke barak dan apa yang di maksud membela keamanan dan ketahanan negara. Sebab, apabila memang teroris itu membahayakan keamanan negara, apakah TNI tidak boleh turut serta mempertahankan negara.

“Oleh karena itu, aturan-aturan yang mengatur tentang TNI harus di perjelas, apalagi ada indikasi bahwa polisi sudah mulai kuwalahan menangani teroris yang demikian progresif dengan berbagai taktik dan cara,” ungkapnya.

Anggota Tim Pengawas (Timwas) Intelijen DPR ini menambahkan, ‎hal seperti ini tidak boleh di biarkan. Sebab itu, Komisi I mengusulkan agar perlu dipikir ulang dan rumuskan ulang aturan-aturan yang megatur peran TNI dan polisi terkait dengan isu-isu keamanan negara dan bangsa.

“Oleh karena itu semua elemen masyarakat jangan emosional menanggapi apa yang telah di sampaikan oleh Ketua Komisi I DPR (Mahfudz Siddiq),” ujarnya.

‎Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar (FPG), Bobby Adhityo Rizaldi sepakat bahwa Operasi Militer Selain Perang ‎(OMSP) TNI harus jelas tidak berbenturan dengan ranah penegak hukum.

“Sepemahaman saya, keterlibatan Komisi I dalam pembahasan revisi UU terorisme adalah memastikan peran BIN sebagai koordinator intelijen negara,” kata Bobby.

Menurutnya, dalam revisi UU Terorisme nantinya diatur secara jelas dalam hal penggunaan data intelijen yang akan digunakan penegak hukum sebagai data deteksi dini.

“Badan Intelijen Negara (BIN) harus dapat menjamin bahwa sumber data intelijen tersebut valid, tidak manipulatif. Sehingga kerja pemberantasan teroris terjaga akuntabilitasnya,” ujarnya. Selain itu, katanya, OMSP sesuai UU TNI.

Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Nasional Demokrat (FNasDem), Prananda Surya Paloh berpandangan, usulan Komisi I DPR bertujuan agar operasi anti narkoba bisa melibatkan militer. Dalam artian, setidaknya anggota atau bahkan satuan militer yang terlibat dalam perdagangan atau produksi narkoba, baik aktif maupun pasif dapat juga digulung dengan joint operation.

“Ini menunjukkan good will dari TNI sebagai institusi yang bebas narkoba. Namun memang harus dibatasi jurisdiksi militer ke ranah sipil, karena perbedaan filosofi Polri yang domain sipil tunduk hukum, ‎TNI yang domain militer tunduk komando dan hukum perang,” jelas Prananda.

“Sehingga kesalahan masa lalu ketika Dwi fungsi Polri yang seharusnya tunduk hukum malah jadi tunduk komando tidak terjadi lagi sekarang dan kedepan,” lanjutnya.

Terkait keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme, Prananda mengatakan ‎pada prinsipnya semua cabang intelijen dapat melakukan operasi dengan jaringan masing-masing dan dapat di pool menjadi sebuah database yang lebih besar dan lengkap.

“TNI dan Polri dalam penanggulangan menggunakan matriks Level Ancaman dan Jurisdiksi.‎ Jadi level ancaman yang taktis mungkin cukup dihadapi Densus,” katanya.

Namun ketika level Ancaman meningkat, maka Polri ditarik dan berganti Kopassus atau pasukan elit TNI lainnya yang bermain. Sebab, sampai level ancaman nuklir biologi kimia, hanya TNI yang terlatih yang dapat menanggulanginya.

Sementara untuk Jurisdiksi, tambahnya, ketika di dalam wilayah Jurisdiksi hukum Polri maka Densus atau unsur Polri lainnya bisa bermain.

“Ketika semakin keluar atau bahkan jauh dari Jurisdiksi RI, maka saatnya pengerahan pasukan, termasuk mengirim kontingen campuran dalam sebuah task force khusus. Semisal kita berpartisipasi aktif bergabung dengan koalisi Amerika atau Rusia untuk menghantam ISIS di wilayah Syria,” pungkasnya.

Sebelumnya, Ketua Setara Institute, Hendardi menilai rencana Komisi I DPR mendorong TNI berada di garda depan dalam memerangi terorisme dan narkoba adalah kehendak yang keluar dari nalar konstitusional dan membahayakan penegakan hukum. Sebab itu, Hendardi meminta gagasan Komisi I DPR ini harus ditolak.

“Gagasan Komisi I harus ditolak karena inkonstitusional dan membahayakan penegakan hukum,” kata Hendardi.

Dilanjutkannya, rencana tersebut bertentangan dengan Konstitusi RI yang telah menggariskan peran TNI dan Polri secara limitatif. Selain itu, menurutnya ‎rencana itu juga muncul dari asumsi masa lalu bahwa TNI lebih supreme dari Polri yang mampu menangani segala hal akibat politik Dwifungsi ABRI yang ditolak oleh reformasi.

“Jika hendak melibatkan TNI dalam operasi militer selain perang, DPR seharusnya segera menyusun UU Perbantuan Militer yang sudah diamanatkan oleh UU TNI dan lebih dari 10 tahun tidak juga dibahas DPR,” ujarnya.

Tanpa batasan yang jelas, tegasnya, pelibatan TNI hanya akan menimbulkan masalah baru. “Ini kekenesan dan romantisme masa lalu,” tegasnya.harianterbit.com