Kenapa Pemerintah Baru Lirik E-Commerce?

Metrotvnews.com, Jakarta: Potensi raksasa untuk bisnis jual beli di internet (e-commerce) seakan baru terlihat. Pemerintah kini menaruh perhatiannya dan terkesan mulai tergopoh-gopoh mengurusi sektor e-commerce setelah melihat perkembangan bisnis ini dalam lima tahun belakangan.

Dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR RI, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika mengungkapkan nilai transaksi e-commerce di Indonesia mencapai USD12 miliar sepanjang tahun 2014. Kenyataan ini saja sudah membuat kalangan parlemen tercengang.

Keterkejutan para wakil rakyat kian bertambah begitu mendapat laporan dari Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) bahwa pertumbuhan perdagangan online di Indonesia sudah cukup besar. Setidaknya ada 200 ribu gerai pedagang dunia maya yang basisnya tersebar di seluruh pelosok Nusatara, platformnya terdiri dari ratusan ukuran kecil dan puluhan lainnya berskala besar.

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Golkar, Bobby Adhityo Rizaldi, menyatakan bahwa kondisi ini harus diakui sebagai fakta industri e-commerce semakin digandrungi.

“Mungkin pemerintah baru melihat potensi pajak yang besar. Soalnya pertumbuhan ekonomi sedang drop, maka dicarilah potensi lain untuk dikembangkan,” ujar Bobby saat berbincang dengan metrotvnews.com di Jakarta, Selasa (6/10/2015).

Meski nilai bisnis e-commerce Indonesia masih sangat kecil dibandingkan dengan Tiongkok (USD436 miliar) dan Amerika Serikat (USD330 miliar), namun prospeknya di masa mendatang dirasa cukup menggiurkan.

Geliat e-commerce di Indonesia

Bisnis e-commerce Indonesia semakin berkembang sejak tahun 2010. Pasar e-commerce lokal tetap tumbuh meski kompetitor asing berdatangan. Bukalapak.com diketahui sebagai salah satu perusahaan pelopor e-commerce di Tanah Air.

CEO sekaligus pendiri Bukalapak.com, Achmad Zaky, mengisahkan keberhasilan perusahaannya melewati masa-masa sulit membangun bisnis e-commerce di Indonesia.

“Dulu tahun 2010 kami struggle. Dengan modal nol rupiah dan mimpi, saat itu belum ada perusahaan e-commerce yang besar,” kata Zaky kepada dengan Metrotvnews.com, Senin (4/10/2015).

Pada era awal berdirinya Bukalapak.com, masih banyak yang belum mengerti dan tertarik untuk bergabung dengan e-commerce yang dibentuknya. Usaha Zaky dan rekannya untuk menggandeng pengusaha lokal untuk berjualan secara daring pun tak sedikit menerima penolakan.

Hanya dua dari 100 orang yang didatangi Zaky tertarik untuk bergabung. Namun ini tidak membuatnya patah arang untuk terus menggenjot jumlah pengguna. “Semakin ditolak, saya semakin penasaran,” ujar dia sembari tertawa.

Tak sampai setahun, pasar e-commerce Indonesia semakin dilirik karena pertumbuhannya yang tinggi. Ventura-ventura asing semakin berani untuk memberikan investasi ke perusahaan IT dan e-commerce lokal. Pengusaha-pengusaha Indonesia yang juga mulai tertarik untuk bermain di sektor teknologi komunikasi semakin membuat sektor ini bergairah.

Bukalapak.com kemudian pada 2011 mendapat investasi dari Batavia Incubator, ventura asal Jepang. Zaky mengakui bahwa ventura asing lebih berani menjadi angel investor untuk perusahaan IT Indonesia yang masih berkembang.

“Memang, bisnis teknologi ini high risk high gain. Mereka melihat peluang besar. Lebih berani dari lokal. Karena memang, kultur Indonesia itu masih menganut pakem bisnis konvensional. Kalau belum ada succes story, belum ada yang berani,” ungkap Zaky.

Lain lagi cerita pendiri Jualo.com, Chaim Fetter. Jualo.com, merupakan salah satu e-commerce di Indonesia yang menyasar pasar jual beli barang bekas. Alasannya, pasar ini sifatnya lebih cepat, praktis, dan terpercaya.

Oleh karena itu, Fetter memilih mengembangkan e-commerce dari basis pasar ini untuk menguatkan keunikan bisnis antar konsumen.

“Kami ingin menitikberatkan fokus kepada jual beli antar konsumen atau consumer to consumer, bukan transaksi toko atau pebisnis ke konsumen (business to consumer),” kata Fetter kepada metrotvnews.com di Jakarta, Minggu (4/10/2015).

Pria kelahiran Belanda yang masih memiliki darah Indonesia dari neneknya ini mengaku pernah kesulitan menjual barang-barang bekasnya saat ingin pindah dari Lombok ke Jakarta. Saat itu, ia menawarkan barang bekas miliknya melalui iklan di salah satu penyedia layanan e-commerce.

Masalahnya, sebagain besar calon pembeli berada di pulau Jawa dan ingin barangnya dikirimkan terlebih dahulu. Sedangkan Fetter ingin kepastian pembayaran. Namun, sistem pembayaran saat itu belum terjamin.

Berangkat dari pengalaman ini, Fetter ingin mencoba membuat e-commerce baru dengan lebih memperhatikan kebutuhan konsumen. Baik penjual maupun pembeli. Selain itu dia melihat e-commerce yang menyasar pasar barang bekas masih memiliki ruang perbaikan.

Menurut Fetter, ada tiga permasalahan yang untuk e-commerce di Indonesia. Yaitu, tingkat kepercayaan masyarakat rendah), buruknya distribusi dan transportasi barang, serta solusi pembayaran yang belum dipercaya.

Fetter menemukan ketiga permasalahan ini setelah melakukan riset pasar pada 2013. Ia mewawancarai ratusan konsumen e-commerce untuk mencari tahu apa yang mereka inginkan. Bermodalkan uang pribadi sebesar USD150.000 untuk menyiapkan sistem dan keperluan pembentukan startup, Jualo.com berdiri pada 2014. Dari sinilah kiprah pesaing Berniaga.com (kini bernama OLX.com) itu dimulai.

Jualo.com berhasil menarik 1.000 akun penjual dalam satu bulan pertama walaupun masih pemain baru di bisnis e-commerce Indonesia.  Hal ini pun berhasil dicapai tanpa mengeluarkan biaya untuk pemasaran. Hanya mengandalkan optimasi mesin pencari Google, sosial media, dan sistem yang memberikan kenyamanan bagi pengguna.

Pada April 2015 Jualo.com mendapatkan suntikan dana dari dua perusahaan investor Indonesia, Mountain Kejora Ventures dan Alpha JWC Ventures. Lalu lintas pengguna pun bertambah sampai tiga kali lipatnya.

Volume transaksi Jualo.com saat ini berkisar 10.000 transaksi perbulan. Jumlah transaksi ini bertambah 10-15 persen tiap bulannya.

“Saat ini kita belum bisa prediksi ke depan akan seperti apa. Karena seluruh transaksi masih sifatnya offline. Penjual dan pembeli bertemu untuk bertransaksi. Tapi setiap ada iklan yang dilepas, kami coba tanyakan alasan. Apakah sudah tidak dijual lagi, terjual lewat e-commerce lain, atau terjual lewat Jualo.com,” papar Fetter.

Dia melihat peluang e-commerce untuk berkembang di Indonesia sangatlah besar. Pengguna internet di Indonesia melebihi 100 juta. Namun pasar e-commerce masih berada di angka 5 persen.

“Masih ada 95 persen pengguna internet Indonesia yang cuma sekedar memakai fungsi media sosial,” kata dia.

Perkembangan e-commerce di Indonesia ini dilihatnya sedikit terlambat. Ia membandingkan dengan Tiongkok, di mana pasar e-commerce di sana menguasai 10 persen transaksi ritel yang ada. Sedangkan jika dibandingkan dengan Belanda, e-commerce Indonesia tertinggal sampai 10 tahun.

“Apa yang terjadi di Indonesia sekarang, sudah terjadi di Belanda sepuluh tahun lalu,” tutur Fetter.

Pasar besar ini pun menarik raksasa perusahaan e-commerce di dunia seperti Alibaba, dan eBay untuk masuk ke Indonesia. Namun, Fetter melihat iklim bisnis e-commerce di Indonesia membuat langkah para pemain multinasional tertahan. Bahkan perusahaan investor masih  berpikir-pikir untuk masuk walaupun potensi pasar yang sangat luar biasa.

Pasar e-commerce Indonesia masih sangat bisa dikembangkan dan digali. Masih banyak sisi-sisi e-commerce yang belum terpikirkan dan bisa digali. Contoh sederhana, Fetter yang senang olahraga diving, belum berhasil menemukan aksesoris dan peralatan diving secara online. “Belum ada yang kepikiran lho. Padahal pasarnya ada. Bisa sangat membantu pariwisata kita, apalagi laut Indonesia itu indah,” kata dia.

Dia melihat apa yang terjadi di bisnis e-commerce Indonesia ini terkait dengan budaya masyarakat Nusantara. Masyarakat senang membeli barang untuk upgrade barang yang dimilikinya. Tapi di sisi lain mayoritas masyarakat tidak percaya dengan skema jual-beli daring dan lebih suka transaksi langsung. Ditambah lagi, Indonesia belum memiliki aturan yang khusus untuk e-commerce.

“Sekarang tergantung bagaimana perusahaan e-commerce sendiri. Contohnya Jualo.com, setiap penjual kami verifikasi. Penjual harus memiliki NPWP dan KTP. Kalau semisalnya ada kasus penipuan, konsumen bisa melapor ke Polisi, lalu kita bisa bantu meyerahkan data ke pihak berwajib. Kita juga memiliki sistem algoritma untuk memastikan tidak ada barang-barang palsu yang beredar,” kata dia.

Potensi

Pertumbuhan e-commerce Indonesia boleh dibilang gila-gilaan. Perputaran uang di bisnis ini diprediksi bakal terus melonjak. Bahkan Indonesia diperkirakan bisa mengejar Amerika Serikat dan Tiongkok dalam waktu 10-15 tahun.

Sebagai gambaran, Bukalapak.com saja mengalami pertumbuhan transaksi hingga 8 kali lipat dibandingkan tahun lalu. Transaksi Bukalapak.com tiap harinya bahkan menyentuh angka miliaran rupiah.

“Akhir-akhir ini transaksi kami sampai Rp8 miliar perhari,” ungkap Zaky.

Tapi dia mengakui angka ini masih sangat kecil. E-commerce Indonesia hanya memberi sumbangsih kurang dari 1 persen dari transaksi ritel yang ada. E-commerce Tiongkok sudah menguasai 10 persen retail, sedangkan e-commerce Amerika Serikat mendapat porsi 8 persen dari retail.

E-commerce raksasa Tiongkok Alibaba bahkan memiliki aset USD45,50 miliar pada kuartal 2015 sebelumnya, atau sekitar Rp646,1 triliun (kurs Rp14.200 per dolar AS). Angka ini sangat fantastis, apalagi jika mengingat rekor transaksi dalam satu hari Alibaba menyentuh USD9,3 triliun (Rp132,19 triliun).

“Coba dibayangkan ada satu saja e-commerce lokal yang asetnya sepersepuluh Alibaba. Ini bukan tidak mungkin, karena karakter ekonomi Indonesia dan China itu mirip,” kata Zaky.

CEO Blanja.com, Aulia E Marianto, menyatakan hal senada. Menurut dia, pertumbuhan e-commerce dapat memberi dampak ekonomi yang sangat besar jika dikelola dengan baik. Salah satu yang diyakini, industri usaha kecil menengah (UKM) akan semakin tumbuh dan berkembang.

“Di Tiongkok, usia produktivitas itu bergeser. Orang yang baru pensiun dapat langsung berusaha dengan memanfaatkan e-commerce. Ibu rumah tangga yang mengurus anak dapat memiliki toko online dan berjualan,” kata Aulia kepada metrotvnews.com, Senin (6/10/2015).

UKM di Indonesia yang kini berjumlah 3,4 juta bisa terus bertambah dan semakin maju dengan memanfaatkan di e-commerce untuk memperluas pasar. UKM di provinsi tertentu dapat melakukan penetrasi pasar di provinsi lain, dan bahkan memungkinkan menembus pasar dunia.

Karena itulah, Blanja.com lebih banyak menyasar pengusaha lokal. Sekitar 70 persen dari 5.000 penjual yang terdaftar merupakan pengusaha UKM lokal. Apalagi, Blanja.com merupakan bentukan PT Telkom (Persero).

“UKM tidak perlu bergantung pameran ke luar negeri atau menunggu konsumen datang. Yang dibutuhkan hanya bagaimana mereka mengelola toko dunia mayanya. Konsumen tinggal pilih, klik, transfer. Bahkan keuntungannya, modal yang dikeluarkan untuk sewa toko fisik itu bisa berkurang karena yang penting di e-commerce itu laju stok barang,” ungkap dia.

Pemerintah seharusnya mendukung perkembangan e-commerce karena dapat mendorong pertumbuhan UKM di Indonesia. Bahkan kalau perlu, pemerintah memberikan insentif untuk membuat e-commerce semakin berkembang.

“Kalaupun tidak ingin kepada pengusaha e-commerce, atau istilahnya perusahaan platform, bisa lewat memberikan insentif kepada UKM yang ikut e-commerce. Lewat tax amnesty atau misalnya pengurangan pajak. Ini akan membawa dampak yang besar ke ekonomi Indonesia,” kata Aulia.

Pemerintah, menurut Aulia, semakin peduli dengan perkembangan e-commerce Indonesia. Namun, Aulia tidak setuju jika pemerintah hanya melihat e-commerce sebagai ladang baru penerimaan pajak di Indonesia. E-commerce justru tidak akan bisa berkembang jika kini dipajaki, karena iklim e-commerce masih baru terbentuk.

Kemenkominfo dan Kementerian Perdagangan memang tengah merumuskan regulasi e-commerce. Salah satunya, menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang E-Commerce. Namun, langkah pemerintah diharapkan tak berhenti di regulasi.

“Jangan sibuk berdiskusi berputar-putar di RPP E-Commerce. Tata kelola itu perlu, tapi harus berjalan pararel juga dengan langkah nyata. Misalnya edukasi (masyarakat),” kata Aulia.

Aulia juga menegaskan, itikad baik untuk e-commerce ini tidak hanya boleh berhenti di dua kementerian saja karena banyak lagi kementerian yang terkait. Contohnya Kementerian Perindustrian dan Kementerian Koperasi dan UKM.

“Jangan cuma sibuk pameran-pameran saja. Harus dipikirkan juga bagaimana pengusaha lokal bisa berjualan. Ya salah satunya itu lewat e-commerce ini. Pemerintah berilah dukungan, nanti e-commerce pasti semakin baik,” kata Aulia.

Hantu pajak

Zaky pun menilai pemerintah Indonesia harus bersikap bijak dalam menuntun pertumbuhan e-commerce Indonesia. Zaky menganalogikan e-commerce Indonesia seperti anak kecil yang bertumbuh kembang. “E-commerce Indonesia itu baru belajar berjalan. Jangan ditakut-takuti dulu misalnya ingin beri pajak untuk pelaku e-commerce,” kata dia.

Pemerintah harus dapat berpikir panjang karena industri ini baru bisa mapan setelah 10-15 tahun ke depan. Sikap pemerintah yang terlalu terburu-buru memakan kue dari e-commerce, justru membawa dampak buruk.

“Nanti pengguna e-commerce justru eksodus besar-besaran ke media sosial yang tak terkontrol pemerintah. Itu justru lebih bahaya. Susah dikontrol, baik arus transaksi atau pengamanannya,” kata pria lulusan Institut Teknologi Bandung ini.

Jika ingin e-commerce memberi dampak ke perekonomian, pemerintah harus belajar ke Tiongkok. Pemerintah Tiongkok bahkan memberikan insentif untuk industri e-commerce. Baik industri utama atau penyokong.

Dia juga berharap pemerintah yang ingin membuat regulasi berpihak ke e-commerce lokal. Bukan bermaksud manja, Zaky menilai industri e-commerce lokal pasti membawa pengaruh yang lebih besar untuk perekonomian bangsa. Baik mendorong pertumbuhan UKM, atau memberi kemudahan arus komiditas lokal.

“Bukalapak.com contohnya menyokong industri akik. Itu kan komoditas Indonesia yang terkenal, kita berusaha promosikan itu. Kita juga menjual komiditas bawang. Bahkan Idul Adha kemarin kia jualan kambing. Dan itu banyak peminatnya,” pungkas dia.

Regulasi dan legislasi e-commerce memang tidak banyak. Kesan pemerintah terlambat bergerak pun tidak bisa dihindari. Menurut Bobby, saat ini Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) itu cuma ada satu pasal yang mengatur soal e-commerce. Kalau Amerika Serikat, sudah ada sembilan undang-undang yang mengaturnya,” ungkap Bobby.

DPR mendorong pemerintah untuk semakin peduli dengan e-commerce yang dapat menjadi penyokong kekuatan ekonomi di Indonesia. Jadi, nanti ekonomi Indonesia tidak lagi bergantung eksploitasi sumber daya alamnya. Sebab, sebagaimana diketahui sumber daya alam sifatnya terbatas. Oleh karena itu, jika ingin melangkah lebih jauh dan meninggalkan status sebagai negara berkembang, Indonesia harus bisa menciptakan perekonomian yang bertumpu pada industri yang bernilai tambah (value added).

Bobby pun mengkritik pemerintah. Karena Kemenkominfo sampai sekarang tidak memiliki roadmap e-commerce. Pemerintah pun didesak segera menyerahkan roadmap besar e-commerce agar berkesinambungan. Roadmap ini akan ditagih kembali oleh Komisi I pada Desember mendatang.

“Nanti baru kita lihat perlu regulasi apa saja. Peraturan Pemerintah contohnya. Atau legislasi apa saja yang dibutuhkan,” kata dia.

Menurut Fetter, Indonesia dapat berkaca ke Singapura untuk membuat aturan e-commerce. “Parlemen bisa studi banding ke Singapura. Mereka memiliki sistem yang bagus dalam melindungi konsumen,” kata Fetter.metrotvnews.com