DPR : Revolusi Mental Bukan `Proyek` yang Perlu Dana Negara

Jakarta, HanTer – DPR menilai sosialisasi ‎program revolusi mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kemudian di implementasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) pimpinan Puan Maharani, tidak perlu mendapatkan anggaran khusus dari negara. Sebab, revolusi mental sebenarnya tidak perlu sosialisasi, melainkan yang perlu dilakukan adalah tindakan para penyelenggara negara yang dapat dicontoh oleh masyarakat.

‎”Jadi, revolusi mental bukanlah `proyek` yang perlu dana negara yang khusus untuk melaksanakannya. Karena, jangan sampai revolusi mental juga sekadar menjadi `proyek` yang tidak bermanfaat tapi dapat dipertanggungjawabkan secara administratif seluruh uang yang terpakai,” kata Anggota Komisi I DPR, Elnino M Husein Mohi kepada Harian Terbit, Rabu (30/9/2015), menanggapi anggaran sosialisasi program revolusi mental ‎Kemenko PMK sebesar Rp97,8 milliar dari APBN.

Sekretaris Fraksi Partai Gerindra di MPR ini mendukung program revolusi mental dari sisi mentalitas dan moralitas yang positif. Namun, katanya, hal itu bukan untuk diajarkan tetapi untuk diteladankan. “Mentalitas yang paling perlu dan paling bisa direvolusi oleh presiden (eksekutif) adalah mentalitas aparaturnya sendiri. Jangan sampai hanya berorientasi penyelesaian proyek (lalu mendapat fee dari proyek itu) dan tidak berorientasi manfaat proyek bagi masyarakat,” tegasnya.

Di samping itu, sambungnya, mentalitas politik juga mesti diperbaiki dan itu dapat dilakukan secara bersama-sama dengan semua Ketua Umum partai-partai politik agar para politisi juga bisa memperbaiki mentalitasnya. Di yudikatif, sebutnya, revolusi mental juga perlu dilakukan oleh presiden bekerja sama dengan MA, MK, dan KY agar aparatur kepolisian, jaksa dan pengadilan menjadi lebih adil. “Perlu tindakan yang tegas dan patut dicontoh oleh seluruh aparatur hukum,” ‎ujarnya.

Dia menambahkan, ‎juga perlu ada revolusi mental pada “pilar keempat demokrasi” yaitu pers. “Presiden dapat bekerja bersama dengan pimpinan-pimpinan media agar dapat menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang optimis, kreatif, bangga dengan ke Indonesiaan dan lainnya,” ‎tuturnya.

Anggota Komisi IX DPR ‎Irgan Chairul Mahfiz mengatakan, anggaran untuk Revolusi mental sebesar Rp97,8 milliar masuk akal apabila jelas program, kegiatan, sasaran dan targetnya. Sementara, dia mengaku belum mengetahui apakah program revolusi mental ini seperti apa.”Kalau tidak jelas programnya maka tidak masuk akal, karenanya harus disampaikan detail dan rincian program. Jangan sampai anggaran tersebut mubazir dan tidak tepat sasaran. Nanti terkesan asal-asalan, padahal banyak program yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat yang membutuhkan anggaran tersebut,” kata Irgan.

Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) kubu Romi ini menegaskan, ditengah kondisi ekonomi Indonesia yang sedang alami krisis, program-program pemerintah yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat seperti BPJS Kesehatan tidak boleh diabaikan. “Ya walau krisis bukan berarti program yang lain dihentikan. Yang penting harus efisien dan tepat sasaran‎,” tegasnya.

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar (FPG) Bobby Rizaldi mengungkapkan, sebenarnya program sosialisasi itu terinspirasi dari Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Sehingga, dia menilai anggaran sebesar itu wajar-wajar saja. “Dilihat dari besaran biayanya, sebuah program komunikasi publik Kementerian Koordinator seperti PMK, juga wajar. Apalagi sudah disetujui bersama oleh Badan Anggaran (Banggar) DPR,” ungkap Bobby Rizaldi.

“Dibanding program komunikasi Obama di Domestic Policy Council dengan tagline A Strong America & Strong middle Class, persentase program sosialisasi PMK dalam APBN 2015, sangat kecil,” imbuhnya.

Terkait soal website, sambungnya, juga sudah disampaikan bahwa anggarannya tidak sebesar itu. “Utamanya, secara program, sosialisasi revolusi mental sudah di setujui bersama, nanti tinggal disampaikan saja ke publik detil rincian nya,” ujarnya. Anggota Banggar DPR ini pun menjelaskan,DPR via banggar sudah meneliti terlebih dahulu paparan PMK sebelum disetujui dan BPKP juga sudah mengaudit sebelum menjadi DIPA proyek.‎ “Harusnya program sosialisasi tersebut tidak masalah. Lain soal bila setelah melewati 31 Desember 2015, program ini tidak jelas jalannya, barulah itu perlu dievaluasi untuk tahun 2016. Kalau sekarang, ya kita tunggu saja dulu, kan masih berjalan,” kata.

Maka dari itu, Bobby meminta ‎sebaiknya disudahi polemik tentang anggaran pemerintah yang sudah disetujui bersama dengan DPR. Hal itu agar nantinya di evaluasi setelah selesai program itu berjalan. “Kalau tidak setuju dengan program tersebut, ya beradu argumentasi lah sebelum disetujui via wakil fraksi-fraksi atau perwakilan masyarakat. Kalau setiap program sudah disepakati, belum selesai berjalan dibatalkan, lebih ruwet lagi administrasi negara nantinya,” himbaunya.harianterbit.com