Kuartal I 2012, Distribusi Elpiji 3 kg Over Kuota 4,9%

DIREKTUR Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria mengungkapkan, penyebab elpiji 3 kg over kuota pada kuartal pertama 2012 sebanyak 1,23 juta metric ton (MT) atau 4,9% di atas target kuota karena adanya penyalahgunaan peruntukan.

“Dari hasil pantauan kami di lapangan, ternyata elpiji 3 kg sudah cukup lama digunakan oleh konsumen yang tidak berhak. Oleh karena itu secara hukum harus tegas dimaknai sebagai terlarang dan harus disikapi secara tegas oleh aparat yang berwenang,” kata Sofyano kepada SENTANA di Jakarta, Minggu (27/5).

Menurut Sofyano sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) No 104 Tahun 2007 elpiji 3 kg yang merupakan elpiji bersubsidi itu hanya berhak digunakan khusus rumah tangga dan usaha mikro. Usaha mikro yang dimaksud dalam Perpres 104/2007 dan Permen ESDM 021/2007 adalah Konsumendengan usaha produktif milik perorangan yang mempunyai legalitas penduduk.

“Penggunaan elpiji tabung 3 kg oleh kelompok usaha menengah keatas dipastikan akan menguras elpiji tabung 3 kg yang diuntukan bagi konsumen rumah tangga dan usaha mikro dan jika ini tidak diberantas dipastikan akan mampu menimbulkan kelangkaan elpiji tabung 3 kg di masyarakat,” ujar Sofyano.

Untuk itu pihaknya mengusulkan agar distribusi elpiji tabung 3 kg dilakukan secara tertutup untuk mengurangi penyalahgunaan dan pengoplosan. “Penataan distribusi elpiji tabung 3 kg oleh Pertamina harus didukung oleh segala pihak dan penataan itu harus pula terkait dan didasarkan kepada Perpres No 104/2007 maupun Permen ESDM No 021/2007. Karena elpiji tabung 3 kg adalah elpiji bersubsidi,” paparnya,

Sofyano menambahkan, bahwa distribusi (jual beli) elpiji bersubsidi ini tidak boleh diperlakukan dengan mekanisme pasar “Oleh karena itu Pertamina harus tegas mengatur jumlah pasokan kepada agen-agen dan pangkalan pangkalan elpiji berdasarkan jumlah konsumen terdata pada saat konversi minyak tanah ke elpiji dilakukan,” jelasnya.

Hal senada juga disampaikan anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi kepada wartawan kemarin. Menurut dia distribusi gas elpiji 3 Kg harus dilakukan secara tertutup, sehingga agen dan pangkalan tidak seenaknya memberikan ke sembaran orang hanya untuk mengejar untung gede.

“Agar tidak kemana-mana distribusinya, sebaiknya dilakukan secara tertutup saja. Agar distribusinya tidak merembes ke mana-mana. Selain itu juga untuk mengurangi terjadinya pengoplosan, sehingga manfaatnya bisa dirasakan rakyat kecil,” pungkas Tulus.

Sofyano menambahkan, selain sistim tertutup Pertamina juga sudah saatnya memberlakukan sistim kuota kepada agen dan pangkalan elpiji sebagaimana yang pernah dilakukan terhadap distribusi minyak tanah sebelum konversi.

Untuk itu, Pertamina dan aparat yang berwenang harus tegas mencegah dan melakukan tindakan terhadap penimbunan elpiji tabung 3 kg sebagaimana diatur dalam Perpres No. 104/2007 dan Permen ESDM No 021/2007.

“Memberikan data nama-nama agen-agen dan pangkalan-pangkalan elpiji kepada pihak Pemerintah Daerah dan pihak kepolisian dapat mencegah dan mengantisipasi usaha penimbunan elpiji tabung 3 kg oleh pihak-pihak yang tidak berhak,” ujar Sofyano.

Dihubungi secara terpisah, anggota Komisi VII DPR, Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan pemerintah seharusnya menetapkan sanksi tegas kepada pengguna industri kelas menengah ke atas yang masih menggunakan Elpiji 3 kg. “Sanksinya bisa berupa denda yang tinggi atau penjara. Problem pelaksanaan lapangan adalah tidak adanya produk penegakan hukum yang lengkap,” kata Bobby dalam pesan singkatnya kepada SENTANA di Jakarta, Minggu (27/5).

Menurut dia, adanya elpiji 3 kg sebenarnya untuk membuat rumah tangga misikin atau sederhana dan pengusaha mikro/ekonomi lemah memiliki tambahan pendapatan dari rendahnya pengeluaran konsumsi biaya atas sumber energy, agar dapat meningkatkan kesejahteraan.  “Sangat tidak adil kalau PT, CV dan koperasi yang memang skalanya sudah lebih tinggi tetap mengkonsumsi 3 kg, harusnya mereka menggunakan 12k g ke atas,” tukasnya.

Ia menambahkan, saat ini pemerintah belum mampu melakukan identifikasi sumber kelangkaan, apakah karena pengguna elpiji yang tidak tepat sasaran atau karena pengoplosan dan disparitas. “Jadi penanganannya sampai sekarang tidak pernah maksimal,” katanya.

Untuk itu menurut Bobby, perlu pendataan ulang penerima elpiji subsidi itu, jangan sampai dinikmati kalangan mampu. Ia meng akui, disparitas harga ma sih menjadi faktor utama ke giatan penyim pangan penya luran elpiji subsidi.

“Saya juga himbau pemerintah untuk segera mencabut Peraturan Menteri Dalam Negeri (Per mendagri) yang membolehkan agar harga elpiji 3 kg lebih tinggi dari HET pemerintah jika jaraknya lebih dari 60 kilometer karena memberatkan masyarakat,” tutupnya.
(SentanaOnline)