Puskepi: Pemerintah Hambat Pertamina Kejar Untung di Bisnis Elpiji Nonsubsidi.

Pemerintah dianggap melanggar UU RI nomor 19 tahun 2003 yang menyebut bahwa Perseroan milik negara harus mengejar keuntungan karena tidak menaikkanharga elpiji non subsidi.

Demikian disampaikan Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria dalam diskusi bertajuk Menyoal Bisnis Elpiji Non Subsidi di restoran Handayani, di kawasan Matraman, Jakarta, Kamis 21/7.

“Pertamina menjual elpiji 12 kg sebesar Rp 5.850 per kg, padahal harga keekonomiannya sudah mencapai Rp 8.600 per kg. Ini berarti, setiap
kilogramnya, Pertamina rugi Rp 3.330 per kg dan kurang lebih Rp 3,2 trilliun per tahun,” katanya.

“Dengan kerugian yang terus menerus dialami BUMN Pertamina, bisa dikatakan bertentangan dengan pasal 12 ayat B UU nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN,” tambahnya.

Menurutunya, kerugian yang dialami terus menerus oleh Pertamina ini akan berlanjut jika Menteri BUMN sebagai pemegang saham negara pada Pertamina dan Menteri ESDM tidak pernah membuat kebijakan untuk menaikkan harga elpiji non subsidi.

“Setiap Pertamina ingin menaikkan harga, Pemerintah senantiasa meminta mereka mengkaji ulang, ini bertentangan dengan pasal 91 UU BUMN yang menyatakan bahwa pihak lain dilarang ikut campur dalam kepengurusan BUMN,” lanjut dia.

Selain itu, sesuai Permen ESDM nomor 26 tahun 2009 tentang penyediaan dan pendistribusian elpiji, penetapan dan atau penyesuaian untuk menaikkan dan menurunkan harga jual elpiji umum juga tidak harus berdasarkan persetujuan menteri ESDM, tetapi hanya perlu dilaporkan.

“Jadi, kerugian yang terjadi pada bisnis elpiji umum, akibat bisnis tersebut terpaksa dilakukan Pertamina dengan tidak melalui mekanisme
persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan,” paparnya.

Selain itu, ia juga menilai bahwa pengguna elpiji umum (12 kg dan 50 kg) adalah golongan masyarakat mampu, tidak seperti elpiji 3 kg, yang memang masih disubsidi pemerintah untuk kalangan tidak mampu.

“Seharusnya, badan usaha yang melakukan penyediaan dan pendistribusian elpiji umum ini memiliki hak dan kewenangan melakukan bisnisnya sesuai mekanisme persaingan usaha yang wajar dan sehat,” tandas Sofyano.

DPR Setuju

DPR sebenarnya menyetujui kenaikan LPG 12 dan 50 kg oleh PT Pertamina (Persero). Namun, tampaknya pemerintah takut merealisasikan kebijakan itu.

“Saya tidak perlu iyakan (kebijakan pemerintah untuk tidak menaikkan harga LPG 12 dan 50 kg), tapi dari yang tersirat dan tersurat, seperti itu,”
ungkap Anggota Komisi VII dari Fraksi Golkar Bobby Aditya Rizaldi, dalam diskusi publik bertajuk Menyoal Bisnis Elpiji Non Subsidi, di kawasan Matraman, Jakarta, Kamis 21/7.

Ia juga menyatakan bahwa Pertamina, sebagai perpanjangan kekuasaan politik, memang terkendala peraturan hukum sehingga harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan KESDM sebelum menaikkan harga LPG nonsubsidi. Namun sebenarnya, pemerintah bisa melakukan hal taktis untuk melakukan kebijakan tersebut.

“Sebenarnya, Pertamina bisa melakukan tindakan taktis untuk menaikkan harga LPG 12 dan 50 kg tanpa persetujuan ESDM. Kami sendiri sudah setuju (untuk menaikkan harga),” lanjutnya.

Karena itulah, menurutnya, DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif dapat menambah regulasi yang menyatakan bahwa Pertamina diperbolehkan mengambil langkah taktis untuk menaikkan harga LPG nonsubsidi tanpa persetujuan ESDM.

Hal ini karena sebagai salah satu BUMN, Pertamina harus menyelenggarakan bisnis yang menguntungkan. “Mereka (Pemerintah) kemarin bilang kalau harga LPG nonsubsidi dinaikkan, takut adanya disparitas harga yang mencolok, sehingga keputusannya ditangguhkan. Kita sebagai pemegang kekuasaan legislatif bisa saja menambah regulasi itu, agar ke depan Pertamina bisa membuat harga LPG sesuai harga keekonomian asalkan tidak melanggar kepentingan sosial dan politik,” papar Bobby.

Sebagai informasi, beberapa waktu lalu, Pertamina berencana menaikkan harga LPG 12 dan 50 kg sebesar Rp1.000 per kg. Hal ini karena Pertamina akan mengalami kerugian terus menerus yang  diperkirakan mencapai Rp4,3 triliun sampai akhir tahun.

Namun, keinginan Pertamina ini tidak direstui Kementerian ESDM, karena mereka khawatir adanya disparitas harga yang besar antara LPG subsidi 3 kg dan nonsubsidi di pasar. Perbedaan disparitas harga menyebabkan marak terjadi pengoplosan LPG 3 kg ke 12 dan 50 kg.

http://sentanaonline.com